A. Pengertian
Khulu’
Secara Bahasa,
khulu’ bermakna turun dan terangkat/hilang.
Secara istilah,
khulu’ yaitu berpisahnya pasangan suami istri dengan pemberian ganti rugi dengan
lafazh thalaq.
B. Hukum Khulu’
Khulu’
disyari’atkan dan dibolehkan oleh mayoritas ulama untuk kebutuhan manusia
ketika terjadi seperti hal – hal berikut :
Kesempitan,
kesusahan dan perselisihan serta tidak terdapat kesepakatan penyelesaian
masalah yang tejadi di antara pasangan suami istri.
Istri merasa
benci kepada suaminya dan tinggal bersama suaminya yang disebabkan oleh cacat
fisik/bawaan atau akhlaq atau agama atau kesehatan, yang dikhawatirkan dapat
menyebabkan tidak dapat menunaikan hak – hak Allaah dalam mentha’ati suaminya.
Jika terjadi
hal – hal tersebut di atas, maka Islam menganjurkan seorang istri untuk mengajukan
perceraian secara khusus kepada suaminya sebagai jalan untuk keselamatan sang
istri agar dapat menolak keburukan dan bahaya bagi sang istri, dengan melakukan
pembayaran uang (mengembalikan mahar) untuk membebaskan dirinya (sang istri)
dan mengakhiri pernikahannya sebagai kompensasi
kepada suaminya terhadap apa yang dikeluarkan suaminya.
Seorang suami
disunnahkan mengabulkan permintaan khulu’ seorang istri jika istri memintanya.
Kecuali jika suami masih ada kecendrungan rasa cinta kepada istrinya, maka
suami dianjurkan agar bersabar kepada istrinya dan tidak memenuhi permintaan
kulu’ istrinya, dan istri dimakruhkan meminta khulu’ dalam keadaan demikian.
C. Dalil Khulu’
1. Al – Qur’an
surat Al – Baqarah ayat 229 :
“Jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum
Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh
istri untuk menebus dirinya.”
2. Haidts Ibnu
Abbas yang berbunyi :
“Isteri Tsabit
bin Qais bin Syammas radhiallahu anhu datang kepada Nabi shallallahu alaihi wa
sallam, lalu berkata, "Wahai Rasulullah! Sesungguh saya tidak mencela
Tsabit bin Qais dalam masalah akhlak dan agamanya, akan tetapi saya tidak ingin
kufur dalam Islam." Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata,
"Apakah engkau bersedia mengembalikan kebunnya?" Sebelumnya Tsabit
telah memberinya mahar sebuah kebun. Lalu wanita tersebut berkata, "Baik
wahai Rasulullah." Maka Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata
kepada sang suami, "Terimalah kebun darinya dan ceraikanlah dia." (H.
R. Bukhari, Nasai, Ibnu Majah)
D. Pendapat
Ulama Tentang Khulu’
1. Ulama
Hanabilah berpendapat bahwa khulu’ adalah baathil dan pemberian kompensasi tertolak meskipun kondisi istri dalam keadaan susah
dan sempit.
2. Ulama
Syafi’iyah berpendapat bahwa khulu’ dibolehkan untuk menolak bahaya pada istri
umumnya dan dimakruhkan jika memutus pernikahan, kecuali dengan dua kondisi :
a. Salah
seorang dari mereka kahwatir tidak dapat menegakkan batasa – batasan Allaah
yaitu apa yang diwajibkan Allaah dalam pernikahan.
b. Bersumpah
dengan thalaq tiga atas melakukan sesuatu.
3. Ulama
Maalikiah berpendapat bahwa terjadi khulu’ disyaratkan merupakan pilihan bebas istri.
4. Ulama lain
melarang mutlak khulu’, Hasan Bashri berkata : “Tidak boleh khulu’ kecuali jika
melihat istri berzina, Daud Az-Zhaahiri berkata : “Tidak boleh khulu’ kecuali
jika tidak dapat menegakkan hukum – hukum Allaah.”
Sumber :
Al Mausuu’ah
Fiqhiyah Kuwaitiyah, Wizaaratil Awqaafi Was Syu uunil Islaamiyah Bil Kuwait.
Comments
Post a Comment