A. Makna Kaidah
Kaidah ini bermakna bahwa suatu adat/kebiasaan yang umum dan khusus bisa dijadikan sebagai dasar hukum ketika terjadi perselisihan dalam menetapkan hukum, jika (adat/kebiasaan tersebut) tidak ada dalil yang menyelisihi kekhususannya atau ada dalil tetapi dalil yang umum, karena sesungguhnya adat/kebiasaan bisa dijadikan dalil dalam membentuk hukum syar’i.
Yang dimaksud adat/kebiasaan umum dan khusus adalah adat/kebiasaan yang dibangun di atas hukum syar’i yang umumnya berlaku pada seluruh atau sebagian negara.
B. Dalil - Dalil Kaidah
Di antara dalil-dalil dari kaidah ini adalah :
1. Q. S. An – Nisaa’ ayat 115 yang berbunyi:
" Dan barangsiapa yang
menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan
jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah
dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu
seburuk-buruk tempat kembali.."
Pada
ayat di atas yang di maksud jalan orang – orang muknin adalah jalan mereka yang
dianggap baik dan Allaah telah mengancam dengan adzab untuk orang yang tidak
mengikuti jalan orang – orang muknin, maka ini merupakan dalil bahwa mengikuti
jalan orang – orang muknin adalah wajib.
2. Hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang berbunyi :
2. Hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang berbunyi :
"Apa yang
dianggap baik oleh orang – orang Islam maka baik juga menurut Allaah".
Al
– Amadi, Ibnu Hazm dan Asy – Syaathibiy mengatakan bahwa yang dimaksud orang –
orang Islam adalah : para shahabat Rasuulullaah, para imam salaf dan
khalaf, ulil amri dan lainnya.
3. Ijma'
ulama bahwa
adat/kebiasaan bias menjadi hukum pada urusan yang diulang – ulang kebiasannya
dan tidak menyelisihi nash/dalil syar’i dan tidak menyelisih tujuan syar’i
secara umum.
C. Contoh Penerapan Kaidah
Di antara contoh-contoh penerapan kaidah ini adalah :
1. Usia haidh pada wanita, yaitu usia haidh pada wanita minimal pada usia 9 tahun.
2. Waktu baligh, yaitu waktu seseorang mulai baligh dikembalikan pada ‘urf/kebiasaan. Pada adat/kebiasaan seseorang sudah dikatakan baaligh jika sudah mimpi basah, jika belum mimpi basah maka balighnya pada usia 15 tahun.
C. Contoh Penerapan Kaidah
Di antara contoh-contoh penerapan kaidah ini adalah :
1. Usia haidh pada wanita, yaitu usia haidh pada wanita minimal pada usia 9 tahun.
2. Waktu baligh, yaitu waktu seseorang mulai baligh dikembalikan pada ‘urf/kebiasaan. Pada adat/kebiasaan seseorang sudah dikatakan baaligh jika sudah mimpi basah, jika belum mimpi basah maka balighnya pada usia 15 tahun.
3. Tersingkapnya
aurat ketika shalat, jika seseorang shalat berdiri aka tersingkap auratnya
dan jika shalat duduk tidak tersingkap
auratnya, maka orang tersebut shalat dengan duduk.
4. Perlombaan, yaitu perlombaan dengan menggunakan kuda, keledai, unta, gajah, memanah,juga berlomba dengan menggunakan mobil atau yang lainnya, baik dengan hadiah atau tanpa hadiah.
4. Perlombaan, yaitu perlombaan dengan menggunakan kuda, keledai, unta, gajah, memanah,juga berlomba dengan menggunakan mobil atau yang lainnya, baik dengan hadiah atau tanpa hadiah.
Allaahu A’lam.
D. Sumber
Rujukan
1. Duruurul Hukkaam fii Syarhil Majallaatil Ahkaam, ‘Ali Haidar.
2. Ghamzu ‘Uyuunil Bashaairi, Ahmad bin Muhammad Al – Hanafiy Al – Hamwi.
1. Duruurul Hukkaam fii Syarhil Majallaatil Ahkaam, ‘Ali Haidar.
2. Ghamzu ‘Uyuunil Bashaairi, Ahmad bin Muhammad Al – Hanafiy Al – Hamwi.
3. Syarhul Qawaa idil Fiqhiyyah, Az – Zurqaa.
Comments
Post a Comment