A. Jenis – Jenis Darah Yang Keluar Dari Rahim Wanita
Ulama sepakat bahwa jenis darah yang
keluar dari rahim wanita ada tiga yaitu :
1. Darah haidh, yaitu darah yang keluar dari rahim wanita ketika
sehat.
2. Darah istihadhoh, yaitu darah yang keluar rahim wanita ketika
sakit.
3. Darah nifas, yaitu darah yang keluar dari rahim wanita ketika
melahirkan.
B. Hukum – Hukum Darah Haidh
1. Batasan Waktu Minimal Haidh
a. Imam Maalik berpendapat
bahwa tidak ada batasan waktu minimal haidh.
b. Imam Syaafi’i dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa batasan waktu minimal haidh adalah sehari – semalam.
c. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan waktu minimal haidh
adalah tiga hari, dan batasan waktu maksimal haidh adalah 10 hari.
2. Batasan Waktu Maksimal Haidh
a. Imam Maalik, Imam Syafi’i dan Imam
Ahmad berpendapat batasan waktu maksimal haidh adalah 15 hari.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan waktu maksimal haidh
adalah 10 hari.
3. Batasan Waktu Minimal Suci
a. Imam Maalik, Imam Syfi’I dan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa
batasan waktu minimal suci adalah 15 hari.
b. Imam Ahmad mengatakan batasan waktu minimal suci adalah 13 hari.
4. Batasan Waktu Maksimal Suci
Ulama berpendapat bahwa tidak ada
batasan maksimal waktu suci.
5. Haidh Yang Terputus
Imam Maalik dan pengikutnya, Imam
Syafi’I berpendapat :
“Jika
terjadi haidh yang terputus, seperti sehari atau dua hari haidh dan sehari atau
dua hari suci, maka dihitung jumlah hari haidh dan hari sucinya, wajib mandi
dan shalat ketika melihat pertama kali sucinya. Jika jumlah hari haidhnya 15
hari maka itulah waktunya haidhnya.”
6.Cairan Shafra’ dan Cairan Kudrah
Cairan Shafra’ adalah cairan darah mengalir yang menyerupai (warna) kekuningan,
bukan warna merah seperti darah yang mengalir, bukan pula hitam seperti
darah haidh, akan tetapi warnanya di atas warna kuning.
Cairan Kudrah adalah cairan yang
berwarna tidak tetap, bukan warna kuning, bukan warna merah, bukan warna hitam, akan tetapi
bercampur dari warna – warna tersebut, dinamakan juga “kudrah (kecoklatan).”
Ulama berbeda pendapat tentang hukum safra’ dan kudrah, yaitu :
a. Imam Syafi’i, Imam Abu Hanifah dan Imam Maalik berpendapat bahwa safra’
dan kudrah termasuk darah haidh jika keluarnya pada saat masa haidh.
b. Imam Ahmad dan Imam Maalik pada pendapat yang lain mengatakan bahwa
afra’ dan kudrah termasuk darah haidh, baik keluarnya pada masa haidh atau
bukan.
c. Imam Daud Azh – Zhaahiriy dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa safra’
dan kudrah bukan termasuk darah haidh kecuali jika ada bekas darah.
7. Hukum Bersetubuh Wanita Yang Baru Suci Dari Haidh Sebelum Mandi
Ulama berbeda pendapat tentang orang
yang baru suci dari haidh kemudian bersetubuh sebelum mandi, yaitu :
a. Imam Syafi’i, Imam Maalik, Imam Ahmad dan Jumhur Fuqaha berpendapat
tidak boleh wanita yang baru suci dari haidh untuk bersetubuh sebelum mandi.
b. Imam Abu Hanifah dan perngikutnya berpendapat bahwa jika wanita
suci dari haidh yang banyak/lama, seperti 10 hari, maka dibolehkan untuk
bersetubuh sebelum mandi. Akan tetapi jika sucinya tidak banyak, seperti haidh
yang terputus selama 5 hari atau 6 hari, maka tidak bersertubuh sebelum mandi.
c. Imam Auzaa’iy berpendapat bahwa jika wanita yang baru suci dari
haidh lalu mencuci kemaluannya maka dibolehkan bersetubuh sebelum mandi.
C. Hukum – Hukum Darah Istihadhah
1. Pengertian Istihadhah dan Mustahadhah
Istihadhah adalah darah yang keluar dari rahim wanita pada saat selain masa
haidh atau pada saat setelah selesai masa haidh. Mustahadhah adalah wanita yang keluar darah dari rahimnya pada saat selain
masa haidh atau pada saat setelah selesai masa haidh.
Contohnya adalah seperti wanita yang kebiasaan haidhnya selama seminggu
dalam sebulan, kemudian setelah haidh selesai selama semingu dan sudah suci,
lalu keluar darah yang warnanya berbeda dari warna darah haidh. Darah yang
keluar setelah suci tersebut dinamakan darah istihadhah, dan wanitanya
dinamakan mustahadhah.
2. Hukum Mustahadhah
Ulama berbeda pendapat tentang hukum mustahadhah, yaitu :
a. Imam Maalik berpendapat bahwa orang yang mustahadhah adalah suci
selamanya.
b. Imam Syafi’i berpendapat bahwa orang yang mustahadhah harus melihat dan
membedakan darah yang keluar setelah suci tersebut, yaitu darah haidh yang
berwarna hitam, kental/tebal dan bau, dan darah istihadhah berwarna merah cerah
dan tidak bau.
c. Imam Ahmad berpendapat hampir mendekati pendapat Imam Syafi’i, yaitu
melihat perbedaan darah dan kebiasaan wanita tersebut.
Masalah istihadhah ini sangat banyak sekali perbedaan dan pembicaraan para
ulama tentang hal ini yang memerlukan pembahasan sendiri, tidak cukup untuk dibahas di sini.
D. Hukum – Hukum Darah Nifas
1. Batas Waktu Minimal Nifas
a. Imam Maalik dan Imam Syafi’I berpendapat bahwa tidak ada batasan waktu minimal nifas.
b. Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa batasan waktu minimal nifas
adalah 25 hari.
c. Imam Abu Yusuf dan pengikutnya berpendapat bahwa batasan waktu
minimal nifas adalah 11 hari.
d. Imam Hasan Bashri pengikutnya berpendapat bahwa batasan waktu
minimal nifas adalah 20 hari.
2. Batasan Waktu Maksimal Nifas
a. Imam Maalik dan Imam Syafi’I berpendapat batasan waktu maksimal nifas
adalah 60 hari.
b. Kebanyakan ahli ilmu, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan salah satu
riwayat dari Imam Maalik berpendapat batasan waktu maksimal nifas adalah 40 hari.
3. Darah Yang Dilihat Keluar Oleh Wanita Hamil
Ulama berbeda pendapat tentang darah
yang dilihat keluar oleh wanita hamil, yaitu :
a. Imam Syafi’i dan Imam Maalik berpendapat bahwa darah yang dilihat keluar oleh wanita hamil adalah darah haidh,
yang berarti bahwa wanita hamil itu haidh.
b. Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad dan Imam Tsauri berpendapat bahwa
darah yang dilihat keluar oleh wanita hamil adalah bukan darah haidh, akan
tetapi darah yang rusak atau darah penyakit, yang berarti bahwa wanita hamil
itu tidak haidh.
Ibnu Qudamah dalam kitab “Al –
Mughni” menambahkan penjelasan sebagai berikut : “ Wanita hamil itu tidak
haidh, kecuali jika dua atau tiga hari sebelum kelahiran wanita tersebut
melihat darah, maka hal tersebut(yaitu keluarnya darah) tidaklah menjadikan
berkurangnya tanda –tanda kelahiran, akan tetapi darah tersebut menjadi darah
nifas.”
E. Perbuatan Yang Dilarang Ketika Haidh Dan Nifas Menurut Kesepakatan
Ulama
Ulama telah sepakat bahwa wanita
yang haidh dan nifas dilarang melakukan perbuatan – perbuatan sebagai berikut, yaitu
:
1. Melaksanakan shalat dan kewajiban
–kewajibannya.
2. Melaksanakan puasa, baik puasa wajib atau puasa bayar hutang atau
puasa sunnah.
3. Melaksanakan thawaf ketika ibadah haji. Dalilnya adalah hadits
Aisyah sebagai berikut :
“Rasuulullaah shallaallaahu ‘alaihi wasalllam memerintahkan (wanita
yang haidh) untuk melaksanakan semua (ibadah) pada ibadah haji kecuali thawaf
di Ka’bah”. (H. R. Bukhari & Muslim)
4. Melaksanakan jima’/bersetubuh pada kemaluan. Dalilnya adalah surat Al – Baqarah
ayat 222, yaitu :
“Mereka bertanya
kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran".
Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah
kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka
campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang
mensucikan diri.”
F. Hukum Bercumbu Dengan Wanita Haidh dan Nifas
1. Pengertian Bercumbu
Bercumbu, yang istilah fiqihnya
“Mubasyarah”, adalah bersenang – senang (untuk
mendapatkan kenikmatan) dengan wanita pada selain farji/kemaluannya.
2. Hukum Bercumbu Dengan Wanita Haidh dan Nifas
Ulama berbeda pendapat tentang hukum
bercumbu dengan wanita haidh dan nifas
yaitu sebagai berikut :
a. Imam Syafi’I, Imam Maalik dan Imam Abu Hanifah membolehkan bercumbu
hanya pada daerah/lokasi di atas pusat dan di bawah lutut.
b. Imam Sofyan Ats-Tsauri, Daud Azh-Zhaahiri dan Imam Ahmad
membolehkan bercumbu (pada seluruh tubuh) kecuali pada farji/kemaluannya.
Allaahu A’lam
G. Daftar Pustaka
1. Al – Mughni, Ibnu
Qudamah.
2. Bidaayatul Mujtahid wa
Nihaayatul Muqtashid, Ibnu Rusyd.
3. Badaai’us – Shanaai’,
Al – Kasaaniy.
4. Majmu’ Syarah Al –
Muhadzab, An – Nawawi.
5. Mughnil Muhtaaj, Al –
Khatib Syarbiyniy.
6. Al – Ma’uunah, Al –
Qaadhiy Abdul Wahhab.
7. Al – Mausuu ‘atul
Fiqhiyyatil Kuwaytiyah, Majmuu’tu minal ‘Ulamaa.
8. Raudhatut Thaalibiin,
An – Nawawi.
Comments
Post a Comment