A. Hadits – Hadits Tentang Ru’yah Hilal (Melihat Bulan)
1. Dari Ibnu ‘Umar telah berkata : Telah berkata Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam - : “Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal (bulan), janganlah kalian berbuka (puasa) sampai melihat hilal (bulan), jika (bulan) terhalangi atas kalian maka sempurnakanlah bulan tersebut”, dalam salah satu riwayat dikatakan : “Bulan itu 29 malam, maka janganlah kamu berpuasa sampai melihatnya (bulan), jika (bulan) terhalangi atas kalian maka sempurnakanlah bulan tersebut menjadi 30 hari”. (Muttafun ‘alaihi)
2. Dari Abu Huraira telah berkata : Telah berkata Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam - : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (bulan) dan berbukalah karena melihatnya (bulan), jika (bulan) terhalangi atas kalian maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari”. (Muttafun ‘alaihi)
3. Dari Ibnu ‘Abbaas terlah berkata : Telah datang A’robiyun (orang arab kampung/baduy) kepada Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – dan berkata (A’robiyun) : Sesungguhnya saya telah melihat hilal (bulan) yaitu hilal (bulan) Ramadhan, maka Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – berkata (kepada A’robiyun) : “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhaq disembah) kecuali Allaah?”, maka A’robiyun menjawab : Ya. Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – berkata (kepada A’robiyun) : “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allaah?”, maka A’robiyun menjawab : Ya. Berkata Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – (kepada Bilal) : “Yaa Bilal beritahukan kepada manusia agar berpuasa (ramadhan)”. H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, An – Nasa i, Ad –Daarimiy.
4. Dari Ibnu ‘Umar telah berkata : Manusia telah (berusaha) melihat hilal, maka saya mengabarkan kepada Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – (dan saya berkata/Ibnu ‘Umar) : Sesungguhnya saya telah melihat hilal (bulan), maka Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – berpuasa dan menyuruh manusia untuk berpuasa. H.R. Abu Dawud dan Ad – Daarimiy.
B. Penjelasan Tentang Ru’yah Hilal (Melihat Bulan)
Berdasarkan hadits – hadits tentang ru’yah hilal (melihat bulan) maka ulama sepakat tentang penentuan awal puasa (bulan Ramadhan) adalah dengan melihat hilal (bulan) dan penentuan awal berbuka (yaitu ‘Idul Fitri/bulan Syawal) adalah dengan melihat hilal (bulan). Jika bulan tidak terlihat pada bulan tersebut (yaitu bulan Sya’ban untuk awal puasa, dan bulan Ramadhan untuk awal berbuka) maka digenapkan menjadi 30 hari. Berapa derajatpun kondisi/posisi bulan, jika yang melihat adalah orang Islam yang ‘Adil, maka persaksainnya dapat diterima.
Di Indonesia, cara pemerintah khusunya MUI & Kementrian Agama sebenarnya telah mengikuti sunnah dalam penentuan awal puasa dan awal berbuka dengan adanya jadwal itsbat pada akhir bulan Sya’ban, hanya ada kekeliruan yaitu dengan penentuan standar derajat posisi bulan yang terlihat, padahal tidak seorang ulamapun yang menentukan standar derajat posisi bulan. Berapa derajatpun kondisi/posisi bulan, jika yang melihat adalah orang Islam yang ‘Adil, maka persaksainnya dapat diterima.
1. Dari Ibnu ‘Umar telah berkata : Telah berkata Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam - : “Janganlah kalian berpuasa sampai melihat hilal (bulan), janganlah kalian berbuka (puasa) sampai melihat hilal (bulan), jika (bulan) terhalangi atas kalian maka sempurnakanlah bulan tersebut”, dalam salah satu riwayat dikatakan : “Bulan itu 29 malam, maka janganlah kamu berpuasa sampai melihatnya (bulan), jika (bulan) terhalangi atas kalian maka sempurnakanlah bulan tersebut menjadi 30 hari”. (Muttafun ‘alaihi)
2. Dari Abu Huraira telah berkata : Telah berkata Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam - : “Berpuasalah kalian karena melihatnya (bulan) dan berbukalah karena melihatnya (bulan), jika (bulan) terhalangi atas kalian maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari”. (Muttafun ‘alaihi)
3. Dari Ibnu ‘Abbaas terlah berkata : Telah datang A’robiyun (orang arab kampung/baduy) kepada Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – dan berkata (A’robiyun) : Sesungguhnya saya telah melihat hilal (bulan) yaitu hilal (bulan) Ramadhan, maka Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – berkata (kepada A’robiyun) : “Apakah kamu bersaksi bahwa tidak ada Tuhan (yang berhaq disembah) kecuali Allaah?”, maka A’robiyun menjawab : Ya. Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – berkata (kepada A’robiyun) : “Apakah kamu bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allaah?”, maka A’robiyun menjawab : Ya. Berkata Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – (kepada Bilal) : “Yaa Bilal beritahukan kepada manusia agar berpuasa (ramadhan)”. H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah, An – Nasa i, Ad –Daarimiy.
4. Dari Ibnu ‘Umar telah berkata : Manusia telah (berusaha) melihat hilal, maka saya mengabarkan kepada Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – (dan saya berkata/Ibnu ‘Umar) : Sesungguhnya saya telah melihat hilal (bulan), maka Rasulullaah - Shallaahu ‘Alaihi wa Sallam – berpuasa dan menyuruh manusia untuk berpuasa. H.R. Abu Dawud dan Ad – Daarimiy.
B. Penjelasan Tentang Ru’yah Hilal (Melihat Bulan)
Berdasarkan hadits – hadits tentang ru’yah hilal (melihat bulan) maka ulama sepakat tentang penentuan awal puasa (bulan Ramadhan) adalah dengan melihat hilal (bulan) dan penentuan awal berbuka (yaitu ‘Idul Fitri/bulan Syawal) adalah dengan melihat hilal (bulan). Jika bulan tidak terlihat pada bulan tersebut (yaitu bulan Sya’ban untuk awal puasa, dan bulan Ramadhan untuk awal berbuka) maka digenapkan menjadi 30 hari. Berapa derajatpun kondisi/posisi bulan, jika yang melihat adalah orang Islam yang ‘Adil, maka persaksainnya dapat diterima.
Di Indonesia, cara pemerintah khusunya MUI & Kementrian Agama sebenarnya telah mengikuti sunnah dalam penentuan awal puasa dan awal berbuka dengan adanya jadwal itsbat pada akhir bulan Sya’ban, hanya ada kekeliruan yaitu dengan penentuan standar derajat posisi bulan yang terlihat, padahal tidak seorang ulamapun yang menentukan standar derajat posisi bulan. Berapa derajatpun kondisi/posisi bulan, jika yang melihat adalah orang Islam yang ‘Adil, maka persaksainnya dapat diterima.
C. Adakah Hisab Falaki
Dalam Penentuan Awal Ramadhan?
Tidak ada seorang ulamapun yang membolehkan untuk menentukan awal puasa atau awal berbuka dengan menggunakan ilmu hisab Falaki/Astronomi.
Seluruh kaum muslimin harus meninggalkan hisab falaki, sebagaimana dulu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkannya, demikian pula Salaful Ummah meninggalkannya. Dan beramal dengan ru’yah atau istikmal (menyempurnakan menjadi 30 hari), sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih.
Tidak ada seorang ulamapun yang membolehkan untuk menentukan awal puasa atau awal berbuka dengan menggunakan ilmu hisab Falaki/Astronomi.
Seluruh kaum muslimin harus meninggalkan hisab falaki, sebagaimana dulu Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam meninggalkannya, demikian pula Salaful Ummah meninggalkannya. Dan beramal dengan ru’yah atau istikmal (menyempurnakan menjadi 30 hari), sebagaimana hal tersebut telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah telah menyebutkan dalam Majmu’ Fatawa (XV/132-133) kesepakatan
para ‘ulama bahwa tidak boleh berpegang kepada hisab falaki dalam penentuan
Ramadhan, ‘Idul Fitri, atau yang semisalnya. Demikian pula Al-Hafizh Ibnu Hajar
dalam Fathul Bari (IV/127) menukilkan dari Al-Baji : Kesepakatan (Ijma’) salaf
untuk tidak berpegang kepada hisab, dan bahwa Ijma’ salaf merupakan hujjah bagi
umat yang datang setelah mereka.
D. Sumber
1. Maktabah Syamilah
2. Mirqaatul Mafaatiih Syarah Misykaatul Mashaabiih, Syaikh ‘Ali al-Qaariiy.
D. Sumber
1. Maktabah Syamilah
2. Mirqaatul Mafaatiih Syarah Misykaatul Mashaabiih, Syaikh ‘Ali al-Qaariiy.
Comments
Post a Comment